UA-72701571-1

iklan google

Wednesday 24 February 2016

Kisah sedih seorang gadis

Kisah Cinta kali ini benar-benar salah satu Kisah Paling Sedih & Paling Mengharukan sepanjang sejarah percintaan. Mudah-mudan kita semua tidak akan pernah mengalami seperti apa yang ada pada Kisah Cinta Paling Sedih ini. Dan semoga kita semua dapat mengambil pelajaran dari kisah berikut ini:

Sudah menjadi kehendak Allah memberinya cobaan berupa penyakit kronis yang bersarang dan sudah bertahun-tahun ia rasakan. Ini adalah cerita kisah seorang gadis yang bernama Muha. Kisah ini diriwayatkan oleh zaman, diiringi dengan tangisan burung dan ratapan ranting pepohonan.

Muha adalah seorang gadis remaja yang cantik. Sebagaimana yang telah kami katakan, sejak kecil ia sudah mengidap penyakit yang kronis. Sejak usia kanak-kanak ia ingin bergembira, bermain, bercanda dan bersiul seperti burung sebagaimana anak-anak yang seusianya. Bukankah ia juga berhak merasakannya?

Sejak penyakit itu menyerangnya, ia tidak dapat menjalankan kehidupan dengan normal seperti orang lain, walaupun ia tetap berada dalam pengawasan dokter dan bergantung dengan obat.

Muha tumbuh besar seiring dengan penyakit yang dideritanya. Ia menjadi seorang remaja yang cantik dan mempunyai akhlak mulia serta taat beragama. Meski dalam kondisi sakit namun ia tetap berusaha untuk mendapatkan ilmu dan pelajaran dari mata air ilmu yang tak pernah habis. Walau terkadang bahkan sering penyakit kronisnya kambuh yang memaksanya berbaring di tempat tidur selama berhari-hari.

Selang beberapa waktu atas kehendak Allah seorang pemuda tampan datang meminang, walaupun ia sudah mendengar mengenai penyakitnya yang kronis itu. Namun semua itu sedikit pun tidak mengurangi kecantikan, agama dan akhlaknya…kecuali kesehatan, meskipun kesehatan adalah satu hal yang sangat penting. Tetapi mengapa?

Bukankah ia juga berhak untuk menikah dan melahirkan anak-anak yang akan mengisi dan menyemarakkan kehidupannya sebagaimana layaknya wanita lain?

Demikianlah hari berganti hari bulan berganti bulan si pemuda memberikan bantuan materi agar si gadis meneruskan pengobatannya di salah satu rumah sakit terbaik di dunia. Terlebih lagi dorongan moril yang selalu ia berikan.

Hari berganti dengan cepat, tibalah saatnya persiapan pesta pernikahan dan untuk mengarungi bahtera rumah tangga.

Beberapa hari sebelum pesta pernikahan, calonnya pergi untuk menanyakan pengerjaan gaun pengantin yang masih berada di tempat si penjahit. Gaun tersebut masih tergantung di depan toko penjahit. Gaun tersebut mengandung makna kecantikan dan kelembutan. Tiada seorang pun yang tahu bagaimana perasaan Muha bila melihat gaun tersebut.

Pastilah hatinya berkepak bagaikan burung yang mengepakkan sayap putihnya mendekap langit dan memeluk ufuk nan luas. Ia pasti sangat bahagia bukan karena gaun itu, tetapi karena beberapa hari lagi ia akan memasuki hari yang terindah di dalam kehidupannya. Ia akan merasa ada ketenangan jiwa, kehidupan mulai tertawa untuknya dan ia melihat adanya kecerahan dalam kehidupan.

Bila gaun yang indah itu dipakai Muha, pasti akan membuat penampilannya laksana putri salju yang cantik jelita. Kecantikannya yang alami menjadikan diri semakin elok, anggun dan menawan.

Walau gaun tersebut terlihat indah, namun masih di perlukan sedikit perbaikan. Oleh karena itu gaun itu masih ditinggal di tempat si penjahit. Sang calon berniat akan mengambilnya besok. Si penjahit meminta keringanan dan berjanji akan menyelesaikannya tiga hari lagi. Tiga hari berlalu begitu cepat dan tibalah saatnya hari pernikahan, hari yang di nanti-nanti. Hari itu Muha bangun lebih cepat dan sebenarnya malam itu ia tidak tidur. Kegembiraan membuat matanya tak terpejam. Yaitu saat malam pengantin bersama seorang pemuda yang terbaik akhlaknya.

Si pemuda menelepon calon pengantinnya, Muha memberitahukan bahwa setengah jam lagi ia akan pergi ke tempat penjahit untuk mengambil gaun tersebut agar ia dapat mencobanya dan lebih meyakinkan bahwa gaun itu pantas untuknya. Pemuda itu pergi ke tempat penjahit dan mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi terdorong perasaan bahagia dan gembira akan acara tersebut yang merupakan peristiwa terpenting dan paling berharga bagi dirinya, demikian juga halnya bagi diri Muha.

Karena meluncur dengan kecepatan tinggi, mobil tersebut keluar dari badan jalan dan terbalik berkali-kali. Setelah itu mobil ambulans datang dan melarikannya ke rumah sakit. Namun kehendak Allah berada di atas segalanya, beberapa saat kemudian si pemuda pun meninggal dunia. Sementara telepon si penjahit berdering menanyakan tentang pemuda itu. Si penjahit mengabarkan bahwa sampai sekarang ia belum juga sampai ke rumah padahal sudah sangat terlambat.

Akhirnyai penjahit itu tiba di rumah calon pengantin wanita. Sekali pun begitu, pihak keluarga tidak mempermasalahkan sebab keterlambatannya membawa gaun itu. Mereka malah memintanya agar memberitahu si pemuda bahwa sakit Muha tiba-tiba kambuh dan sekarang sedang dilarikan ke rumah sakit. Kali ini sakitnya tidak memberi Muha banyak kesempatan. Tadinya sakit tersebut seakan masih berbelas kasih kepadanya, tidak ingin Muha merasa sakit. Sekarang rasa sakit itu benar-benar membuat derita dan kesengsaraan yang melebihi penderitaan yang ia rasakan sepanjang hidupnya yang pendek.

Beberapa menit kemudian datang berita kematian si pemuda di rumah sakit dan setelah itu datang pula berita meninggalnya sang calon pengantinnya, Muha.

Demikian kesedihan yang menimpa dua remaja, bunga-bunga telah layu dan mati, burung-burung berkicau sedih dan duka terhadap mereka. Malam yang diangan-angankan akan menjadi paling indah dan berkesan itu, berubah menjadi malam kesedihan dan ratapan, malam pupusnya kegembiraan.

Kini gaun pengantin itu masih tergantung di depan toko penjahit. Tiada yang memakai dan selamanya tidak akan ada yang memakainya. Seakan gaun itu bercerita tentang kisah sedih Muha. Setiap yang melihatnya pasti akan bertanya-tanya, siapa pemiliknya.

Cerita motivasi gajah

Seekor gajah dapat mengangkat benda yang bobotnya lebih dari satu ton hanya dengan belalainya, tapi anehnya seekor gajah juga dapat dikondisikan untuk diam disuatu tempat , diikat dengan tali pada sebuah pasak yang diikatkan pada kaki depan gajah padahal hanya dengan  seutas tali kecil.tak ada rantai tak ada kandang.sudah tentu gajah itu dapat melepaskan dirinya dari ikatan itu kapan saja, tetapi kenyataannya mengapa gajah itu tidak mampu???

Hal ini disebabkan, karena  ketika gajah itu masih bayi dan berukuran jauh lebih kecil, gajah itu diikat pada sebuah pohon besar dengan ikatan rantai yang kuat. Bayi gajah itu masih lemah sementara rantai dan pohonnya kokoh. Bayi gajah itu tidak biasa diikat maka ia terus menghentak dan menarik-narik rantai tetapi itu semua sia sia saja.

Suatu hari ia menyadari bahwa semua tarikannya dan hentakannya itu tidak ada gunanya, ia pun menyerah. Dan berpikir bahwa ia tidak akan pernah dapat membebaskan diri dari belenggu ikatannya. Bayi gajah itu berhenti berusaha dan diam

Setelah bayi gajah itu tumbuh menjadi gajah dewasa yang besar. Ia diikatkan pada pasak kecil dengan mengunakan tali yang rapuh . sebenarnya gajah itu dapat membebaskan dirinya hanya dengan satu hentakan tetapi gajah itu diam saja karena ia telah DIKONDISIKAN untuk menyakini bahwa ia tidak dapat lepas dari ikatan.

Pesan moral dari cerita di ini:
kita dilahirkan dengan memiliki kemampuan yang dahsyat luar biasa namun kehidupan mengkondisikan kita menjadi manusia yang rapuh,.. akankah kita akan seperti gajah dalam cerita diatas?

Cerita 2 ekor katak

Pada suatu waktu ada dua ekor katak tercebur ke sebuah sumur dangkal, tak lama kemudian teman teman katak mereka datang dan mulai merubung sambil  berteriakan : “ lakukan ini” dan “lakukan itu”

Setelah beberapa lama, katak-katak diluar sumur menyadari bahwa tidak ada harapan. mereka menyarankan agar kedua katak tersebut menyerah dan menunggu saja saat saat kematiannya. Seekor katak menerima nasibnya dan tidak berbuat apa apa. Katak yang satu terus melompat lompat. katak katak di luar sumur kembali berteriak teriak dan memberi kan tanda pada katak yang kedua agar menyerah.

Beberapa lama kemudian , katak kedua melompat dengan tinggi dan akhirnya berhasil keluar dari sumur. Kegembiraan menyeruak. Katak katak lainya bertanya pada katak kedua itu. Mengapa ia terus saja melompat padahal mereka berseru seru agar ia menyerah.  katak kedua itu dengan bangga menjawab,” aku tidak bisa mendengar kalian, tapi kulihat kalian sepertinya memberiku semangat.

Dalam hidup terkadang kita perlu menutup telinga kita dari omongan omongan orang yang ada di sekeliling kita, yang kita perlu lakukan hanyalah focus mengerjakan apa yang kita nyakini akan sukses dan kemudian bungkam mulut mereka dengan bukti kesuksesan yang akan kita raih,.

Thursday 18 February 2016

Cerita motivasi kaleng coca cola

Ada 3 kaleng coca cola, ketiga kaleng tersebut diproduksi di pabrik yang sama. Ketika tiba harinya, sebuah truk datang ke pabrik, mengangkut kaleng-kaleng coca cola dan menuju ke tempat yang berbeda untuk pendistribusian.
Pemberhentian pertama adalah supermaket lokal. Kaleng coca cola pertama di turunkan disini. Kaleng itu dipajang di rak bersama dengan kaleng coca cola lainnya dan diberi harga Rp. 4.000.
Pemberhentian kedua adalah pusat perbelanjaan besar. Di sana , kaleng kedua diturunkan. Kaleng tersebut ditempatkan di dalam kulkas supaya dingin dan dijual dengan harga Rp. 7.500.
Pemberhentian terakhir adalah hotel bintang 5 yang sangat mewah. Kaleng coca cola ketiga diturunkan di sana. Kaleng ini tidak ditempatkan di rak atau di dalam kulkas. Kaleng ini hanya akan dikeluarkan jika ada pesanan dari pelanggan. Dan ketika ada yang pesan, kaleng ini dikeluarkan besama dengan gelas kristal berisi batu es. Semua disajikan di atas baki dan pelayan hotel akan membuka kaleng coca cola itu, menuangkannya ke dalam gelas dan dengan sopan menyajikannya ke pelanggan. Harganya Rp. 60.000.

Mengapa ketiga kaleng coca cola tersebut memiliki harga yang berbeda padahal diproduksi dari pabrik yang sama, diantar dengan truk yang sama dan bahkan mereka memiliki rasa yang sama? Ya, Lingkungan kita mencerminkan harga kita. Apabila kita berada dilingkungan yang bisa mengeluarkan terbaik dari diri kita, maka kita akan menjadi cemerlang. Tapi bila kita berada dilingkungan yang meng-kerdil-kan diri kita, maka kita akan menjadi kerdil. Maka berkumpulah dengan lingkungan orang-orang terbaik. Lingkungan yang sehat jasmani dan rohaninya. Janganlah kita berkumpul dengan lingkungan yang buruk, kecuali kita mencoba untuk memperbaikinya

Detik jam

Alkisah, Seorang pembuat jam tangan berkata kepada jam yang sedang dibuatnya. "Hai jam, apakah kamu sanggup untuk berdetak paling tidak 31.104.000 kali selama setahun?"
"Ha?," kata jam terperanjat, "Mana sanggup saya?"
Tukang jam pun terdiam....
"Bagaimana kalau 86.400 kali dalam sehari?"
"Ha...Delapan puluh ribu empat ratus kali? Dengan jarum yang ramping-ramping seperti ini?" jawab jam penuh keraguan.
 
Tukang jam pun terdiam....
"Bagaimana kalau 3.600 kali dalam satu jam?"
"Apaa..Dalam satu jam harus berdetak 3.600 kali?"
"Banyak sekali itu" tetap saja jam ragu-ragu dengan kemampuan dirinya.
Tukang jam pun terdiam. Lalu tukang jam itu dengan penuh kesabaran kemudian bicara kepada si jam.
 
"Kalau begitu, sanggupkah kamu berdetak satu kalisetiap detik?"
"Naaaa, kalau begitu, aku sanggup!" kata jamdengan penuh antusias.
Maka, setelah selesai dibuat, jam itu berdetak satu kali setiap detik.
Tanpa terasa, detik demi detik terus berlalu dan jam itu sungguh luar biasa karena ternyata selama satu tahun penuh dia telah berdetak tanpa henti. Dan itu berarti ia telah berdetak sebanyak 86.400 kali dalam sehari..dan 3.600 kali dalam satu jam..dan tentu saja 31.104.000 kali selama setahun

Ada kalanya kita ragu-ragu dengan segala tugas pekerjaan yang terasa begitu berat. Namun sebenarnya jika kita sudah menjalankannya, ternyata kita mampu, bahkan sesuatu yang mungkin semula kita anggap tidak mungkin untuk dilakukan. Yakinlah kepada Allah! Allah sudah mengukur kemampuan Hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya bersamaan dengan kesulitan yang kita hadapi, ada kemudahan di dalamnya.

Monday 8 February 2016

Cerita Motivasi Hidup Guru Bijak dan Toples Besar

Ada seorang guru bijak yang sangat disukai oleh murid – muridnya. Murid beliau pun cukup banyak dan yang datang pun banyak dari tempat jauh, Mereka berbondong – bonding datang untuk mendengarkan petuah atau kata kata bijak yang sering keluar dari mulut guru bijak tersebut. Pada suatu ketika, seperti biasanya, murid-murid beliau datang dan berkumpul untuk mendengarkan pelajaran yang disampaikan oleh sang guru. Mereka datang satu persatu dan duduk dengan rapi dan tenang, serta memandang ke depan, dan siap untuk mendengar apa yang akan dikatakan atau disampaikan oleh sang guru.
 
Kemudian sang guru pun tiba, lalu beliau duduk di depan murid – muridnya. Beliau datang dengan membawa sebuah toples yang cukup besar, lalu disampingnya terdapat beberapa tumpuk batu yang memiliki warna kehitaman yang memiliki ukuran segenggaman tangan. Kemudian tanpa bicara sedikit pun, Beliau mengambil batu – batu itu dan kemudian satu persatu batu – batu tersebut di masukkan dengan hati-hati ke dalam sebuah toples kaca yang ia bawa. Kemudian ketika toples itu sudah penuh dengan batu hitam yang dimasukkan oleh sang guru tersebut, Lalu beliau berbalik dan menghadap ke murid – muridnya dan langsung bertanya.

“Apakah toples ini sudah penuh?”
Serentak murid – muridnya menjawab,
“Iya guru, Benar, toples itu sekarang sudah penuh”.
Tanpa berkata apapun, sang guru lalu memulai memasukkan kerikil – kerikil bulat berwarna merah yang memiliki ukuran lebih kecil dari batu sebelumnya ke dalam toples tersebut.Karena kerikil itu lebih kecil sehingga dapat masuk dan jatuh pada sela – sela batu hitam besar yang dimasukkan lebih awal. Kemudian Setelah semua kerikil itu sudah masuk kedalam toples, sang guru kembali berbalik kepada murid – muridnya, kemudian bertanya kembali.
 
“Apakah toples ini sudah penuh?”
Serentak murid – muridnya menjawab kembali,
“Iya guru, Benar, toples itu sekarang sudah penuh”.
Masih tanpa berkata apapun, kini sang guru telah mengambil satu wadah pasir yang halus, kemudian beliau memasukkan pasir halus tersebut ke dalam toples. Tentu dengan mudah pasir halus tersebut masuk memenuhi ruangan kosong dari kerikil merah dan juga batu hitam. Setelah pasir halus itu semuanya masuk, sang guru kembali berbalik dan bertanya lagi ke para muridnya.
 
“Apakah toples ini sudah penuh?”
Karena para murid sudah salah dua kali, kali ini murid murid itu tidak terlalu percaya diri untuk menjawab pertanyaan dari guru mereka. Akan tetapi karena terlihat bahwa pasir halus tersebut jelas sudah memenuhi sela – sela dari kerikil dan batu yag sudah dimasukkan ke dalam toples, membuatnya sudah terlihat tampak penuh. Walaupun agak sedikit ragu beberapa dari murid itu ada yang mengangguk dan menjawab,
“Iya guru, Kali benar, toples itu memang sudah penuh”.
 
Ternyata tetap tanpa berkata apapun lagi, Sang guru kembali berbalik, kali ini dia mengambil sebuah tempayan yang berisi air, Kemudian beliau menuangkan air itu dengan hati – hati ke dalam toples besar yang sudah terisi oleh batu besar hitam, krikil dan juga pasir tadi. Dan ketika air sudah mencapai di bibir toples,Sang guru kembali berbalik kepada para murid, dan bertanya kembali
“Apakah toplesnya sudah penuh?”
Saat itu kebanyakan para murid lebih memilih untuk diam, akan tetapi ada dua sampai tiga orang yang memberanikan diri untuk menjawab,
“Iya guru” jawab sedikit murid tersebut.
 
Ternyata tetap sang guru masih belum berkata apapun, beliau malah mengambil satu kantong garam halus. Kemudian beliau menaburkan sedikit – sedikit serta hati-hati memasukkan garam –garam itu diatas permukaan air, dan garam halus itu pun sedikit demi sedikit larut, dituangkannya sekantong garam tersebut sampai habis dan garam – garam itu juga larut kedalam air. Sang guru kembali menghadap kepada murid-muridnya, dan kembali, bertanya, “Apakah toplesnya tersebut sudah penuh?”
Saat itu semua murid berdiam diri tanpa menjawab apapun. Hingga akhirnya ada seorang murid yang memberanikan diri untuk menjawab.
 
“Iya guru, toples itu sekarang sudah penuh”.
Sang guru akhirnya menjawab, “Iya benar, toples ini sekarang sudah penuh”.
Beliau kemudian melanjutkan ucapannya,
“Sebuah cerita selalu memiliki banyak makna, dan setiap dari kalian telah memahami banyak hal dari demonstrasi ini. Diskusikan dengan tenang sesama kalian, apa hikmah yang kalian punya. Berapa banyak hikmah berbeda yang dapat kalian temukan dan kalian ambil darinya.”
 
Murid-murid kemudian memandang sang guru, dan juga memandang toples yang sekarang sudah berisi penuh dan juga memiliki berbagai warna, ada warna hitam, merah, ada juga pasir, air, dan juga garam. Kemudian dengan cukup tenang mereka berbisik ( mendiskusikan ) dengan para murid lainnya. Kemudian setelah beberapa menit sang guru lalu mengangkat tangannya, dan seluruh ruangan pun terdiam. Beliau lalu berkata,
 
“Selalu ingatlah bahwa tidak pernah ada hanya satu interpretasi dari segalanya. Kalian sudah mengambil semua hikmah dan juga pesan dari cerita, dan setiap hikmah, sama pentingnya dengan yang lain” Setelah berkata seperti itu kemudian tanpa berkata-kata lagi, sang guru bijak itu bangkit dan meninggalkan ruangan.
 
Dari cerita motivasi hidup guru bijak dan toples besar diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam menilai sesuatu tidak dapat disimpulkan atau dikatakan benar jika hanya memandang dari satu sudut pandang. seperti cerita motivasi diatas. jika melihat dari sisi batu besar hitam, memang benar toples itu sudah penuh jika dimasukkan batu besar hitam lainnya. tapi jika dimasukkan dengan batu yang lebih kecil (batu krikil) ternyata toples itu masih belum penuh dan masih bisa dimasukkan lagi. begitu seterusnya. jadi untuk menyimpulkan suatu peristiwa atau apapun itu, kita harus melihat dari berbagai sudut pandang yang berbeda agar dapat mengambil kesimpulan yang benar -benar bisa di pertanggung jawabkan.
Semoga cerita motivasi hidup guru bijak dan toples besar ini, dapat memberikan kita inspirasi dan motivasi dalam mengambil sebuah keputusan didalam kehidupan kita.

Kakek yang penyabar

Pada suatu sore, Dia melihat buah pohon pepaya yang ada di depan rumahnya sudah mulai menguning pada beberapa sisi pepayanya dan siap untuk dipanen. Kakek tua tersebut berencana untuk memanen buah tersebut esok hari agar buah tersebut benar – benar matang merata. Akan tetapi, pada saat pagi tiba, kakek tua itu melihat satu buah pepayanya sudah tidak ada dan hilang dicuri orang.
Kakek tersebut tiba tiba begitu bersedih, sampai istrinya merasa heran ketika melihat suaminya begitu bersedih.

“Kenapa kamu begitu murung Cuma karena sebuah pepaya telah hilang” kata sang istri.
“bukan hal itu yang membuatku sedih” jawab sang kakek,
“aku sedih karena kepikiran, betapa sulitnya orang tersebut mengambil pepaya kita. Demi sebuah papaya, dia rela harus sembunyi – sembunyi di tengah malam agar tidak diketahui orang. Bukan hanya itu, untuk dapat memetiknya dia juga harus memanjatnya.”

“maka dari itu Bun” lanjut sang kakek, “aku akan menaruh tangga dibawah pohon pepaya kita, dan saya berharap ia datang kembali malam ini dan jika ia ingin memetik buah pepaya yang satunya lagi, dia tidak perlu memanjat dan mengalami kesulitan lagi untuk mengambil papaya itu”.Akan tetapi pada saat pagi hari, si kakek tua itu melihat pepaya yang itu masih ada dan tangganya pun masih sama persis pada saat dia letakkan kemarin. Dia tidak memindahkan tangga tersebut, dan berharap bahwa pencuri itu akan datang malam ini. Akan tetapi di pagi berikutnya, buah pepaya tersebut masih ada di atas pohon.
Pada sore hari, Ada seseorang yang datang menenteng dua buah pepaya besar bertamu kerumah Sang kakek. Sang kakek tidak kenal sedikitpun dengan tamu itu. singkat cerita, sesudah berbincang cukup lama, saat hendak ingin pamitan tamu tersebut dengan sangat menyesal mengakui kalau dialah yang sudah mencuri papaya sang kakek.

Kisah diatas mungkin hanya merupakan cerita sederhan. Akan tetapi ada manfaat yang dapat kita pelajari dari cerita tersebut yaitu tentang kesabaran, kebajikan, keikhlasan dan juga cara pandang positif terhadap kehidupan. Mampukah kita bersikap positif pada saat kita kehilangan sesuatu yang kita cintai dengan ikhlas? lalu mencari sisi baiknya dan kemudian melupakan sakitnya suatu musibah? Semoga cerita motivasi ini dapat menjadi renungan dan bermanfaat agar kita bisa hidup lebih baik dan dalam keadaan apapun dapat tetap berfikir positif

Cerita Inspirasi Gratis Seumur Hidup

Pada suatu ketika, seorang anak telah menghampiri ibunya yang sedang masak di dapur. Kemudian anak tersebut menyerahkan selembar kertas kepada ibunya. Ibunya kemudian menerima kertas itu dan kemudian langsung membaca tulisan tersebut, Ternyata kertas tersebut adalah kertas yang ditulis tangan oleh anaknya sendiri, dan berikut ini adalah isi surat tersebut:Rp. 5000 Untuk memotong rumput.

Rp. 5000 Untuk membersihkan kamar tidur minggu ini.
Rp. 3000 Untuk pergi ke toko disuruh ibu Untuk menjaga adik waktu ibu belanja Rp. 5000.
Rp. 1000 Untuk membuang sampah .
Rp. 3000 Untuk nilai yang bagus .
Rp. 3000Untuk membersihkan dan menyapu halaman .

Jadi hari ini ibu harus membayar Rp. 25000 kepada saya.Setelah membaca surat tersebut, kemudian sang ibu memandang wajah anaknya dengan penuh harap. Lalu terlintas berbagai kenangan dimasa lalu di dalam benak sang ibu. Kemudian sang ibu mengambil sebuah pulpen, lalu membalikkan kertas surat itu. dan dia menulis beberapa kalimat, setelah itu kertas tersebut dikembalikan kepada anaknya. Balasan surat yang ibunya buat untuk anaknya adalah seperti berikut ini:Biaya untuk 9 bulan ibu mengandung kamu, gratis.

Biayauntuk semua malam ibu menemani kamu, gratis.
Biaya untuk semua mainan, makanan, dan baju, gratis.
Biaya untuk membawamu ke dokter serta mengobati saat kamu sakit, dan juga mendoakan kamu, gratis.
Biaya untuk semua saat susah dan air mata dalam mengurus kamu, gratis.
Kalau dijumlahkan semua, harga cinta ibu adalah gratis.

Hai Anakku… jika kamu menjumlahkan semua yang kau kerjakan,
Maka kau akan dapati bahwa harga cinta ibu adalah GRATISSeusai membaca apa yang ditulis ibunya, sang anak langsung berlinang air mata dan kemudian menatap wajah ibunya, lalu berkata: “Ibu, aku sangat sayang ibu” kemudian ia langsung mendekap ibunya. Seketika sang ibu tersenyum haru sambil mencium rambut anaknya itu, dan berkata, ”Ibupun sayang sama kamu nak”.
Kemudian sang anak kembali mengambil pulpen, lalu menulis sebuah kata dengan huruf – huruf yang besar sambil diperhatikan ibunya. Kata itu adalah
LUNAS.

Itulah Cerita Inpirasi Gratis Seumur Hidup , kita harus pahami, bahwa seberapa besarpun apa yang kita lakukan untuk Ibu kita, tidak akan mampu membayar semua yang sudah dilakukan oleh Ibu kita terhadap kita. Kita tidak akan mampu untuk membayar hutang kita terhadap Ibu kita, jika Ia meminta kita untuk membayar semua yang pernah dia lakukan kepada kita. Tapi dia tidak melakukan itu, yang Beliau inginkan hanya satu, yaitu membuat kita sebagai anaknya bahagia. Jadi jangan lah kita menyakiti hati atau perasaan ibu kita, atau meminta bayaran terhadapa Ibu kita jika ibu kita memerintah kita untuk melakukan sesuat, ingatlah apa yang dilakukan oleh Ibu kita untuk kita adalah GRATIS.

Kisah inspiratif kakek penjual amplop

Kisah Inspirasi Mengharukan ini tentang seorang kakek yang berjuang mencari nafkah untuk bertahan hidup dengan menjual amplop surat . kisah mengharukan ini sipolos kutip dari beberapa sumber website, menurut sumber dari website yang saya kutip kisah ini pertama kali ditulis oleh seorang Dosen di ITB. Semoga Kisah Kakek Penjual Amplop yang mengharukan ini menjadi bahan renungan kita untuk selalu bersyukur dengan apa yang kita miliki. berikut kisah yang dituliskan oleh pak dosen.

Setiap Saya menuju ke Masjid Salman ITB untuk melaksanakan shalat Jumat, saya selalu melihat seorang Kakek yang sudah cukup renta duduk di depan sebuah bungkusan plastik yang berisi kertas amplop. Ternyata kertas amplop tersebut adalah barang dagangannya. Sepintas barang dagangannya itu terasa aneh, karena pedagang lain yang memenuhi pasar kaget di seputaran Jalan Ganesha pada hari Jumat. Pedagang di tersebut umumnya adalah penjual makanan, DVD bajakan, pakaian, barang mainan anak, sepatu dan barang-barang aksesoris lainnya. Tentu agak aneh dia nyempil sendiri menjual amplop kertas yang merupakan barang yang sudah tidak terlalu dibutuhkan pada zaman modern yang serba elektronik seperti sekarang. Masa ketenaran pengiriman surat secara konvensional melalui kantor pos sudah berlalu, namun Kakek tersebut tetap bertahan menjual amplop surat. Mungkin saja Kakek itu tidak mengikuti perkembangan zaman yang sekarang sudah serba teknologi informasi yang cepat dan instant, sehingga dia berfikir masih ada banyak orang yang membutuhkan amplop untuk berkirim surat.
Adanya Kakek tua dengan amplop surat dagangannya yang tidak laku-laku tersebut itu menimbulkan rasa iba. Siapa sih yang ingin membeli amplopnya itu? Bahkan sangat jarang sekali orang yang lewat menuju masjid tertarik untuk membeli sebuah amplop. Lalu lalang orang orang yang bergerak menuju masjid Salman seolah tidak mempedulikan adanya Kakek tua itu.
Ketika hendak shalat Jumat di Salman lagi saya melihat Kakek tua itu lagi yang sedang duduk bersama dagangannya. Saya berkata dalam diri saya, saya akan membeli amplopnya itu setelah usai shalat, meskipun sebenarnya saya sedang tidak membutuhkan amplop tersebut. Saya membelinya sekedar ingin membantu Kakek tersebut melariskan dagangannya. Seusai saya shalat Jumat dan hendak kembali ke kantor, saya menghampiri Kakek tersebut. Kemudian Saya tanya “berapa harga amplopnya dalam satu bungkus plastik itu” tanya Saya. “Seribu”, jawab kakek tersebut dengan suara lirih. Oh Tuhan, harga dari sebungkus amplop dengan isi 10 lembar itu hanya dihargai seribu rupiah? Uang seribut itu hanya cukup untuk membeli 2 gorengan bala bala. Uang sebesar 1000 rupiah yang tidak terlalu berarti bagi kita, tetapi sangatlah berarti bagi Kakek tua itu. Saya terdiam sesaat dan berusaha menahan air mata haru mendengar harga yang sangat murah tersebut. “Saya beli amplopnya 10 bungkus yah pak”, kata saya.
Kakek itu terlihat senang karena amplop dagangannya saya beli dalam jumlah yang cukup banyak. Dia memasukkan 10 bungkus amplop yang isinya 10 lembar per bungkusnya ke dalam sebuah bekas kotak amplop. Tangannya terlihat sedikit bergetar ketika memasukkan amplop ke dalam kotak.
Kemudian Saya kembali bertanya kepada si kakek kenapa dia menjual amplop tersebut dengan semurah itu. Padahal kalau kita beli amplop di warung harga peramplopnya tidak mungkin dapat 100 rupiah. Dengan uang 1000 rupiah mungkin kita hanya dapat 4 atau 5 amplop. Kemudian Kakek itu menunjukkan selembar kertas kwitansi kepada saya, kertas tersebut adalah kwitansi pembelian amplop dari toko grosir tempat kakek itu membeli dagangannya. Tertulis pada kwitansi tersebut nota pembelian untuk 10 bungkus amplop senilai Rp7500. “Kakek cuma ambil untung sedikit”, kata si kakek. Jadi, untuk satu bungkus amplop yang isinya 10 lembar itu si kakek hanya mengambil keuntungan Rp250. Mendengar jawaban jujur dari si Kakek itu, saya terharu dan prihatin. Jika pedagang lain yang nakal yang suka menipu harga dengan menaikkan harga jual agar keuntungan berlipat-lipat, Si Kakek itu dengan jujurnya menjual amplop tersebut dengan keuntungan yang tidak seberapa. Andaikan bisa terjual sepuluh bungkus amplop, berarti keuntungan yang diperoleh tidak sampai atau mampu untuk membeli nasi bungkus di pinggir jalan. Siapa juga orang yang akan mau membeli amplop dengan banyak pada zaman sekarang ini? Dalam sehari belum tentu si kakek itu laku menjual 10 bungkus, apalagi untuk menjual 20 bungkus amplop agar dapat mampu membeli nasi.
Setelah selesai bertanya saya lalu membayar 10.000 rupiah untuk membayar 10 bungkus amplop, Tidak lupa saya menyelipkan sedikit uang lebih kepada Kakek tua tersebut untuk membeli makan siang. Si Kakek tua menerimanya dengam tangan bergetar dan sambil mengucapkan terima kasih kepada saya dengan suara hampir menangis. Lalu saya segera bergegas pergi meninggalkannya karena mata saya ini sudah tidak tahan untuk menahan air mata yang ingin keluar. Sambil berjalan saya teringat status seorang teman difacebook yang kurang lebih seperti ini: “Kakek-Kakek tua menjajakan barang dagangannya yang tak laku-laku", "ibu-ibu tua yg duduk didepan warungnya yg selalu sepi"8. Ayo Carilah alasan – alasan untuk dapat membeli barang dagangan mereka, meskipun kita tidak terlalu membutuhkannya pada saat ini. Jangan selalu membeli barang barang yang kurang dibutuhkan di mal-mal dan toko-toko yang nyaman dan lengkap, sekali kali keluarkan sedikit rejeki kita untuk membeli sesuatu ke pedagang yang sudah tua dan renta….”
Si Kakek penjual amplop adalah salah satu dari mereka, yaitu para pedagang kaki lima yang sudah tua dan renta yang seharusnya sudah menikmati masa tuanya dirumah bermain sama cucu cucu mereka tetapi mereka sebaliknya masih tetap berjuang mencari nafkah untuk membeli makan untuk bertahan hidup dengan menjual barang barang yang kurang laku. Cara paling sederhana dan mudah untuk membantu mereka ialah bukan memberi mereka uang secara cuma cuma, tetapi belilah dagangan mereka atau gunakan jasa mereka. Meskipun misalkan barang yang di jual oleh mereka kurang dibutuhkan oleh kita atau sedikit lebih mahal dari pada harga di toko, tetapi dengan membeli dagangan mereka insya Allah lebih banyak barokahnya, karena secara tidak langsung kita sudah membantu kelangsungan usaha dan hidup mereka.
Dalam pandangan saya Kakek tua itu lebih terhormat dari pada para pengemis yang berkeliaran di sekitar masjid Salman, meminta-minta kepada orang orang yang lewat. Para pengemis itu menyuruh atau mengerahkan anak-anak mereka untuk memancing iba orang -orang yang lewat. Tetapi berbeda dengan si Kakek penjual amplop tersebut, dia tidak mau mengemis, tetapi ia tetap teguh mencari uang halal dengan berjualan amplop walaupun keuntungannya tidak seberapa.
Sesampai dikantor saya amati kembali bungkusan amplop yang tadi saya beli dari si Kakek tua. Memang benar saya tidak terlalu membutuhkan amplop tersebut saat ini, tetapi uang 10000 rupiah yang saya keluarkan tadi sangat dibutuhkan bagi si Kakek tua.
Kotak amplop yang berisi 10 bungkus amplop tadi saya simpan di sudut meja kerja. Memang saat ini belum diperlukan oleh saya tapi siapa tahu nanti saya akan memerlukannya. Mungkin pada hari Jumat – jumat yang selanjutnya saya akan melihat si Kakek tua berjualan kembali di sana dan duduk melamun di depan dagangannya yang sepih pembeli.
Dari kisah inspisrasi mengharukan tentang kakek penjual amplop yang diceritakan / ditulis oleh pak dosen tersebut, semoga kita bisa belajar untuk bisa bersyukur dengan apa yang kita miliki sekarang. jangan mengeluh disaat kita sedang kesusahan, karena diluar sana masih banyak orang yang lebih susah dari kita. dan disaat kita memiliki rezeki yang lebih ada baiknya kita berbagi kepada orang – orang yang sedang membutuhkan. Memberi sedikit rezeki yang kita miliki tidak akan membuat kita jatuh miskin.

Sunday 7 February 2016

Garam Dan Telaga



Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu pagi, datanglah seorang anak muda yang sedang dirundung banyak masalah. Langkahnya gontai dan dengan raut muka yang ruwet. pemuda itu, memang tampak seperti orang yang tak bahagia.
Tanpa membuang waktu, orang itu menceritakan semua masalahnya. Pak Tua yang bijak, hanya mendengarkannya dengan seksama. Ia lalu mengambil segenggam garam, dan meminta pemuda itu untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu kedalam gelas, lalu diaduknya perlahan. “Coba, minum ini, dan katakan bagaimana rasanya..”, ujar Pak tua itu.
 
“Pahit. Pahit sekali”, jawab sang pemuda, sambil meludah kesamping.Pak Tua itu, sedikit tersenyum. Ia, lalu mengajak pemuda ini, untuk berjalan ke tepi telaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga yang tenang itu.
Pak Tua itu lalu kembali menaburkan segenggam garam, ke dalam telaga itu. Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang mengaduk-aduk dan tercipta riak air, mengusik ketenangan telaga itu. “Coba, ambil air dari telaga ini, dan minumlah. Kemudian pemuda itupun menuruti apa kata pak tani tadi,Saat pemuda itu selesai mereguk air itu, Pak Tua berkata lagi, “Bagaimana rasanya?”.

“hmm Segarr sekali....”, sahut tamunya.
“Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?”, tanya Pak Tua lagi.
“Tidak”, jawab si pemuda.Dengan bijak, Pak Tua itu menepuk-nepuk punggung si pemuda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu. “Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama.

“Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu, akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu.”

Pak Tua itu lalu kembali memberikan nasehat. “Hatimu, adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. 
 Kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.”

Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka sama-sama belajar hari itu. Dan Pak Tua, si orang bijak itu, kembali menyimpan “segenggam garam”, untuk pemuda-pemuda yang lain, yang sering datang padanya untuk ber keluh kesah membawa keresahan jiwa

Friday 5 February 2016

si miskin yang kaya hati



Bai fang li simiskin yang kaya hati

Alkisah tersebutlah seseorang bernama Bai Fang Li, orang miskin yang pekerjaannya adalah tukang becak. Seluruh hidupnya dihabiskan di atas sadel becaknya, mengayuh dan mengayuh untuk memberi jasanya kepada orang yang naik becaknya. Mengantarkan kemana saja pelanggannya menginginkannya, dengan imbalan uang sekedarnya.

Tubuhnya tidaklah perkasa. Perawakannya malah tergolong kecil untuk ukuran becaknya atau orang-orang yang menggunakan jasanya. Tetapi semangatnya luar biasa untuk bekerja. Mulai jam 6 pagi setelah melakukan rutinitasnya untuk bersekutu dengan Tuhan. Bai Fang Li melalang buana di jalanan, di atas becaknya untuk mengantar para pelanggan-pelanggan setianya. Dan ia akan mengakhiri kerja kerasnya setelah jam 8 malam.

Para pelanggannya sangat menyukai Bai Fang Li, karena ia pribadi yang ramah dan senyum tak pernah lekang dari wajahnya. Dan ia tak pernah mematok berapa orang harus membayar jasanya. Namun karena kebaikan hatinya itu, banyak orang yang menggunakan jasanya membayar lebih. Mungkin karena tidak tega, melihat bagaimana tubuh yang kecil malah tergolong ringkih itu dengan nafas yang ngos-ngosan (apalagi kalau jalanan mulai menanjak) dan keringat bercucuran berusaha mengayuh becak tuanya.

Bai Fang Li tinggal disebuah gubuk reot yang nyaris sudah mau roboh, di daerah yang tergolong kumuh, bersama dengan banyak tukang becak lainnya, para penjual asongan dan pemulung.Gubuk itupun bukan miliknya, karena ia menyewanya secara harian. Perlengkapan di gubuk itu sangat sederhana. Hanya ada sebuah tikar tua yang telah robek-robek dipojok-pojoknya, tempat dimana ia biasa merebahkan tubuh penatnya setelah sepanjang hari mengayuh becak.

‘’Gubuk itu hanya merupakan satu ruang kecil dimana Bai Fang Li biasa merebahkan tubuhnya beristirahat, di ruang itu juga ia menerima tamu yang butuh bantuannya, di ruang itu juga ada sebuah kotak dari kardus yang berisi beberapa baju tua miliknya dan sebuah selimut tipis tua yang telah bertambal-tambal. Ada sebuah piring seng comel yang mungkin diambilnya dari tempat sampah dimana biasa ia makan, ada sebuah tempat minum dari kaleng. Di pojok ruangan tergantung sebuah lampu templok minyak tanah, lampu yang biasa dinyalakan untuk menerangi kegelapan di gubuk tua itu bila malam telah tiba.

‘’Bai Fang Li tinggal sendirian di gubuknya. Dan orang hanya tahu bahwa ia seorang pendatang. Tak pernah ada yang tahu apakah ia mempunyai sanak saudara atau pun tidak. Tapi nampaknya ia tak pernah merasakan sendirian, banyak orang yang suka padanya, karena sifatnya yang murah hati dan suka menolong. Tangannya sangat ringan menolong orang yang membutuhkan bantuannya, dan itu dilakukannya dengan sukacita tanpa mengharapkan pujian atau imbalan

Dari penghasilan yang diperolehnya selama seharian mengayuh becaknya, sebenarnya ia mampu untuk mendapatkan makanan dan minuman yang layak untuk dirinya dan membeli pakaian yang cukup bagus untuk menggantikan baju tuanya yang hanya sepasang dan sepatu bututnya yang sudah tak layak dipakai karena telah robek. Namun dia tidak pernah melakukannya, karena semua uang hasil penghasilannya disumbangkannya kepada sebuah Yayasan sederhana yang biasa mengurusi dan menyantuni sekitar 300 anak-anak yatim piatu miskin di Tianjin. Yayasan yang juga mendidik anak-anak yatim piatu melalui sekolah yang ada.

Hatinya sangat tersentuh ketika suatu ketika ia baru beristirahat setelah mengantar seorang pelanggannya. Ia menyaksikan seorang anak lelaki kurus berusia sekitar 6 tahun yang yang tengah menawarkan jasa untuk mengangkat barang seorang ibu yang baru berbelanja. Tubuh kecil itu nampak sempoyongan mengendong beban berat di pundaknya, namun terus dengan semangat melakukan tugasnya. Dan dengan kegembiraan yang sangat jelas terpancar di mukanya, ia menyambut upah beberapa uang recehan yang diberikan oleh ibu itu, dan dengan wajah menengadah ke langit bocah itu berguman, mungkin ia mengucapkan syukur pada Tuhan untuk rezeki yang diperolehnya hari itu.

Beberapa kali ia perhatikan anak lelaki kecil itu menolong ibu-ibu yang berbelanja, dan menerima upah uang recehan. Kemudian ia lihat anak itu beranjak ke tempat sampah, mengais-ngais sampah, dan waktu menemukan sepotong roti kecil yang kotor, ia bersihkan kotoran itu, dan memasukkan roti itu ke mulutnya, menikmatinya dengan nikmat seolah itu makanan dari surga.

‘’Hati Bai Fang Li tersentuh melihat itu semua, dan ia hampiri anak lelaki itu, dan berbagi makanannya dengan anak lelaki itu. Ia heran, mengapa anak itu tak membeli makanan untuk dirinya, padahal uang yang diperolehnya cukup banyak, dan tak akan habis bila hanya untuk sekedar membeli makanan sederhana.

“Uang yang saya dapat untuk makan adik-adik saya pak….,” jawab anak itu.
“Orang tuamu dimana…?” tanya Bai Fang Li.
“Saya tidak tahu, ayah dan ibu saya seorang pemulung…. Tapi sejak sebulan lalu setelah mereka pergi memulung, mereka tidak pernah pulang lagi. Saya harus bekerja untuk mencari makan untuk saya dan dua adik saya yang masih kecil…,” sahut anak itu.

‘’Bai Fang Li minta anak itu mengantarnya melihat ke dua adik anak lelaki bernama Wang Ming itu. Hati Bai Fang Li semakin merintih melihat kedua adik Wang Fing, dua anak perempuan kurus berumur 5 tahun dan 4 tahun. Kedua anak perempuan itu nampak menyedihkan sekali, kurus, kotor dengan pakaian yang compang camping.

‘’Bai Fang Li tidak menyalahkan kalau tetangga ketiga anak itu tidak terlalu perduli dengan situasi dan keadaan ketiga anak kecil yang tidak berdaya itu, karena memang mereka juga terbelit dalam kemiskinan yang sangat parah, jangankan untuk mengurus orang lain, mengurus diri mereka sendiri dan keluarga mereka saja mereka kesulitan.

‘’Bai Fang Li kemudian membawa ke tiga anak itu ke Yayasan yang biasa menampung anak yatim piatu miskin di Tianjin. Pada pengurus yayasan itu Bai Fang Li mengatakan bahwa ia setiap hari akan mengantarkan semua penghasilannya untuk membantu anak-anak miskin itu agar mereka mendapatkan makanan dan minuman yang layak dan mendapatkan perawatan dan pendidikan yang layak.

Sejak saat itulah Bai Fang Li menghabiskan waktunya dengan mengayuh becaknya mulai jam 6 pagi sampai jam 8 malam dengan penuh semangat untuk mendapatkan uang. Dan seluruh uang penghasilannya setelah dipotong sewa gubuknya dan membeli dua potong kue kismis untuk makan siangnya dan sepotong kecil daging dan sebutir telur untuk makan malamnya, seluruhnya ia sumbangkan ke Yayasan yatim piatu itu. Untuk sahabat-sahabat kecilnya yang kekurangan.

Ia merasa sangat bahagia sekali melakukan semua itu, ditengah kesederhanaan dan keterbatasan dirinya. Merupakan kemewahan luar biasa bila ia beruntung mendapatkan pakaian rombeng yang masih cukup layak untuk dikenakan di tempat pembuangan sampah. Hanya perlu menjahit sedikit yang tergoyak dengan kain yang berbeda warna. Mhmm… tapi masih cukup bagus… gumamnya senang.

Bai Fang Li mengayuh becak tuanya selama 365 hari setahun, tanpa perduli dengan cuaca yang silih berganti, di tengah badai salju turun yang membekukan tubuhnya atau dalam panas matahari yang sangat menyengat membakar tubuh kurusnya.

Banyak orang-orang menanyakan mengapa ia mau berkorban demikian besar untuk orang lain tanpa perduli dengan dirinya sendiri. “Tidak apa-apa saya menderita, yang penting biarlah anak-anak yang miskin itu dapat makanan yang layak dan dapat bersekolah. Dan saya bahagia melakukan semua ini…,”

Hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun, sehingga hampir 20 tahun Bai Fang Li menggenjot becaknya demi memperoleh uang untuk menambah donasinya pada yayasan yatim piatu di Tianjin itu. Saat berusia 90 tahun, dia mengantarkan tabungan terakhirnya sebesar RMB 500 (sekitar 650 ribu rupiah) yang disimpannya dengan rapih dalam suatu kotak dan menyerahkannnya ke sekolah Yao Hua.

Bai Fang Li berkata “Saya sudah tidak dapat mengayuh becak lagi. Saya tidak dapat menyumbang lagi. Ini mungkin uang terakhir yang dapat saya sumbangkan,,” katanya dengan sendu.Semua guru di sekolah itu pun menangis….

Bai Fang Li wafat pada usia 93 tahun, ia meninggal dalam kemiskinan. Sekalipun begitu, dia telah menyumbangkan disepanjang hidupnya uang sebesar RMB 350.000 (kurs 1300, setara 455 juta rupiah, jika tidak salah) yang dia berikan kepada Yayasan yatim piatu dan sekolah-sekolah di Tianjin untuk menolong kurang lebih 300 anak-anak miskin.

Foto terakhir yang orang punya mengenai dirinya adalah sebuah foto dirinya yang bertuliskan ”Sebuah Cinta yang istimewa untuk seseorang yang luar biasa”.

‘’Bai fang li si miskin tapi kaya hati’’

bila seseorang yang miskin menyumbang dari kekurangannya, maka ia adalah salah satu penghuni surga yang diutus ke dunia, yang mengajarkan kita untuk selalu bersyukur dan selalu berbagi kepada sesama.
‘’Kisah ini di ambil dari berbagai sumber’’

kisah inspiratif dua sahabat



Alkisah ada  2 orang sahabat yang terpisah cukup lama,namanya ahmad dan Zainal. Ahmad ini pintar, cerdas, tapi kurang beruntung secara ekonomi. Sedangkan Zainal adalah sahabat yang biasa saja, tapi keadaan orang tuanya mendukung karir untuk masa depannya.
Keduanya Bertemu di tempat istimewa,yakni di temp mengambil air wudhu, di toilet sebuah masjid megah dengan arsitektur yang cantik, pemandangan pegunungan dengan kebun teh yang terhampar hijau di bawahnya. Sungguh indah dan sangat mempesona.
 

Zainal, sudah menjelma menjadi seorang manager kelas menengah, necis, perlente, dan ber penampilan  elite,tapi tetap menjaga kesholihannya. Setiap keluar kota, ia menyempatkan singgah di masjid kota yang ia singgahi. Untuk memperbaharui wudhu dan sujud syukur. Syukur masih mendapat waktu yang diperbolehkan shalat sunnah, maka ia shalat sunnah sebagai tambahan.

setibanya Ia di Puncak  Bogor,  ia pun mencari masjid,Sembari menepikan mobilnya, dan bergegas masuk ke masjid yang ia temukan.
Di sanalah ia bertemu Ahmad. Dengan Terperangah dan kaget. Ia tahu sahabatnya ini meski berasal dari keluarga tak berada, tapi pintar luar biasa.
Zainal tak sangka bila berpuluh tahun kemudian ia temukan Ahmad sebagai marbot masjid.

“Maaf, kamu Ahmad bukan yah? Ahmad yang teman  Sekolah Menengah ku dulu?”.
Yang disapa pun tak mau kalah mengenalinya.akhirnya  Keduanya pun berpelukan.
“Keren sekali kamu ya Mas…sungguh  Mantap dan luar biasa penampilanmu…”. Zainal terlihat masih dalam keadaan berdasi. Lengan bajunya pun digulung untuk persiapan wudhu, menyebabkan jam tangan ber-merk yang di kenakannya terlihat oleh Ahmad. “Ah, biasa saja…”.sahut zainal

Zainal menaruh iba dengan keadaan ahmad yang sekarang. Ahmad dilihatnya sedang memegang kain pel, khas marbot. Celana digulung, dan peci 8 dongak hingga jidat lebar terilhat jelas.

“Mad… Ini kartu nama saya…”.
Ahmad pun meliha nya. Sambil berujar“Manager Area yah…”. Wah, keren dong kamu sekarang!!!
sambil tersenyum zainal pun berkata kepada ahmad....’’Mad, selepas saya shalat nanti kita bincang-bincang  ya? Maaf, itupun kalau kamu berminat, di kantor saya ada pekerjaan yang lebih baik dari sekedar marbot di masjid ini loh. Maaf ya…”.
Ahmad tersenyum. Ia mengangguk. “Terima kasih ya…sahut ahmad’’ Nanti kita berbincang setelah selesai ini.

Sambil ber wudhu pun, Zainal trus berfikir,,’’ Mengapa Ahmad yang pintar, kemudian harus terlempar dari kehidupan normal. Ya, meskipun tak ada yang salah dengan pekerjaan sebagai marbot, tapi marbot… ah, pikirannya tidak mampu membenarkan. Zainal menyesalkan kondisi negeri ini yang tak berpihak kepada orang yang sebenarnya memiliki talenta dan kecerdasan, namun miskin.

Air wudhu membasahi wajah… Sekali lagi Zainal melewati Ahmad yang sedang bebersih. Andai saja Ahmad mengerjakan pekerjaan ini di perkantoran, maka sebutannya bukan marbot. Melainkan “Office Boy”.

Tanpa sadar, ada yang shalat di belakang Zainal. Tampaknya sedang shalat sunnah.gumam dalam hati zainal.
Zainal sempat melirik. “Barangkali ini kawannya Ahmad kali yah…”.
Zainal menyelesaikan doa secara singkat, karena ingin segera bincang-bincang dengan Ahmad teman lamanya
“Pak”, tiba-tiba anak muda yang shalat di belakangnya menegur.
“Iya Mas..’’jawab zainal
“Bapak kenal dengan bapak Insinyur Haji Ahmad yah…?”
“Insinyur Haji Ahmad…?”
“Ya, insinyur Haji Ahmad…”kata pemuda itu menimpali ucapan zainal
“Insinyur Haji Ahmad yang mana…?”tanya zainal
“Itu, yang barusan bincang dengan Bapak…”
“Ohh… Ahmad… Iya saya Kenal. Itu teman saya dulu waktu di SMP.ohh jadi dia Sudah haji?”tanya zainal.
“Dari dulu memang sudah haji Pak. Dari sebelum beliau bangun masjid ini…”.
Kalimat datar yang cukup menampar hati Zainal… sudah haji… dari sebelum bangun masjid ini…dalam hati zainal sedikit terenyuh..

Anak muda tersebut menambahkan, “Beliau orang hebat Pak. Tawadhu’. Saya lah merbot asli di masjid ini. Saya karyawan beliau. Beliau yang membangun masjid ini. Di atas tanah wakaf pribadi. Beliau bangun masjid indah ini sebagai transit bagi siapapun yang hendak shalat. Coba Bapak lihat mall megah di bawah sana? Itu Juga hotel indah di seberangnya? … Itu semua milik beliau pak... Tapi beliau lebih suka menghabiskan waktunya di sini. Bahkan salah satu kesukaannya yang aneh,suka menggantikan posisi saya.
Karena suara saya bagus, kadang saya diminta mengaji dan azan saja…”.
Wah, entah apa yang ada di hati dan di pikiran Zainal…seperti mengembara
*****
Jika Zainal adalah kita, mungkin saat bertemu kawan lama yang sedang bersihkan toilet, segera beritahu posisi kita, siapa kita yang sebenarnya.

Atau jika kita adalah Ahmad, kawan lama menyangka kita merbot masjid, kita akan menyangkal, lalu menjelaskan secara detail begini dan begitu. Sehingga tahulah bahwa kita adalah pewakaf dan yang membangun masjid. ng yang menyembunyikan kebaikannya, seperti ia menyembunyikan keburukannya.

dari kisah teladan di atas kita bisa mengambil pelajaran/hikmah dari keduanya
janganlah kita marasa diri paling tinggi dan sempuna jikalau kita  melihat ada orang lebih rendah penampilannya di banding kita,karena siapa tahu ia lebih tinggi dan lebih mulia derajatnya dari kita

Sumber: https://www.facebook.com/KomunitasOneDayOneJuz/posts/10153732189042785